Kisah Perjuangan Menghadiri Liqo (Halaqoh)


Ada seorang bapak, penjual bubur ayam di daerah trans. Untuk bisa datang ke kajian pekanan, dia harus meliburkan diri 3 hari dari menjual buburnya karena jarak tempat mengaji yang cukup jauh dari rumahnya, di kota. Karena kondisi ekonominya yang pas-pasan, dia sering kesulitan ongkos. Hingga ia memilih naik sepeda tuanya, seharian. Ya, seharian! Menuju tempat kajian. Nasib mujur kalau ada truk besar yang mau ditumpangi. Maka ia dan sepedanya bisa menumpang barang sebentar, mempersingkat jarak dan menghemat tenaga. Tetapi itu jarang sekali.

Hari kedua, ia gunakan untuk mengaji di kota. Sekaligus menghadiri berbagai kajian lain yang memungkinkan, mumpung ke kota. Lalu hari ketiganya, ia kayuh lagi sepeda tuanya seharian, pulang ke rumah. Dan itu terjadi sepekan sekali. Dia rela hanya bekerja 4 hari dalam seminggu, demi kajian pekanan yang tak ingin ia cederai.

Ada juga seorang ibu rumah tangga, tinggal di ibukota, yang untuk datang ke kajian pekanan, karena tak ada ongkos dan suaminya lama belum pulang dari ikhtiar mencari nafkah, dia terpaksa menjual beberapa peralatan dapurnya ke tukang rombeng. Tak ada yang mengetahui hal ini, kalau saja tak secara kebetulan ada teman satu kajian yang sedang berkunjung ke rumahnya, dan melihat transaksi jual beli itu. Yang lalu dia ceritakan pada guru ngajinya, dan disambut rasa trenyuh oleh sang guru.

Lalu ada lagi, seorang ibu rumah tangga, sebut saja Arni, masih di ibu kota, saat harus hadir dalam kajian pekanan, dengan malu-malu dia sms pada guru ngajinya, “Bu, maaf boleh tidak nanti siang saya ijin tidak datang? Saya tak punya ongkos untuk pulang balik ngaji ke tempat ibu. Suami juga belum pulang jadi saya gak bisa minta ongkos”

Trenyuh gurunya membaca sms itu. Menitik perlahan air matanya, diketiknya balasan via sms, Bu, ibu masih punya ongkos untuk sekali jalan ke sini? Kalau ada, silahkam datang, Semoga Allah mudahkan.

Tak ada lagi balasan dari bu Arni.

Beranjak guru itu menyiapkan sedikit bingkisan untuk anak-anak bu Arni, juga menyelipkan selembar uang biru bergambar I Gusti Ngurah Rai ke dalam amplop, sekedar pengganti ongkos untuk binaannya. Sambil tetap berharap, bu Arni akan datang.

Lalu, saat siang tiba, dengan berdebar, guru itu menunggu kedatangan bu Arni. Apakah ia akan datang?

Subhanallah. . ternyata bu Arni datang, tampak kerepotan membawa serta 3 anaknya yang masih kecil-kecil. Si guru mengelus dada, berlega hati, dan sembunyi-sembunyi menitikkan air mata.

Saat kajian usai, dia serahkan bingkisan dan amplop itu pada bu Rani, yang disambut dengan wajah terperangah campur malu Haduuh, gak usah ibu, Kok jadi repot begini.

Ini rizqun minal-Lah, tidak baik kalau ditolak bu. Kalau ibu tidak berkenan, mungkin anak2 tetap membutuhkan, kata si guru. Dan berangsur, Bu Rani menerima bingkisan dan amplop itu, sambil memeluk gurunya, hangat..

Sumber: http://www.jalanpanjang.web.id/2011/05/perjuangan-liqo.html

Leave a comment